The Argument

Musik jazz mengalun lembut di pelataran teras gedung teater film. Simfoni yang menelusup dari speaker milik sebuah kafe mini bernama Dua Saja. Kafe yang hanya menyajikan dua menu: roti bakar coklat keju dan capuccino. Kafe ini adalah kesukaanku untuk menghabiskan waktu selepas perkuliahan atau menunggu jam pemutaran film dimulai. Di sinilah pertama kalinya aku bertemuLanjutkan membaca “The Argument”

Piring Kenangan

Tempias hujan menempel basah pada kaca jendela. Aku termenung menatap kedua piring yang kini tertata di depan mejaku. Sepiring Tiramisu Cake dan Strawberry Cheesecake. Aku tidak lapar. Aku hanya butuh Al kembali. Kepergian Al serasa membunuh dadaku berkali-kali. “Hei, kau boleh memakannya, Anne.” Seorang lelaki memakai jas putih memanjang hingga ke lutut dan stetoskop diLanjutkan membaca “Piring Kenangan”

Perihal Bahagia

Pagi ini, sebuah pembicaraan hangat mengusik Minggu yang tenang. Ketika seorang sahabat lama datang menemuiku. Kami berjanji bertemu di kedai kopi Filatelis, tak jauh dari apartemen sewaku—Ruangan kecil yang sering kusebut gubuk. Sahabatku ini datang tepat waktu karena dia tipe orang yang benci menunggu. “Tumben, kau tidak terlambat?” ujarnya sembari mengangkat sebelah alis tebal khasLanjutkan membaca “Perihal Bahagia”

Lelah Menunggu

Kamu pun pergi. Meninggalkan dahan pohon tempat kita berdua. Meninggalkanku sendiri di sini terluka. Kamu menyuruhku menunggu senja saja. Bukannya memperjuangkanmu untuk akhir yang bahagia. Ya, kamu memutuskan ikatan cinta di saat aku mempertanyakan kesetiaanmu. Ah, Rabona. Mengapa kamu tinggalkan demi bersama simpanse yang lain? “Kamu bau,” ucapmu singkat. “Ketekmu juga bau,” balasku. Dan kamuLanjutkan membaca “Lelah Menunggu”